Retaknya Demokrasi Indonesia Akibat Aksi Massa dan Represi Negara

  Gelombang demonstrasi yang terjadi sepanjang 2025 mencerminkan adanya kecemasan mendalam terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Isu utama yang memicu aksi adalah kenaikan tunjangan DPR, kebijakan ekonomi yang dianggap tidak sejalan dengan suara rakyat, serta tuntutan pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset. Rakyat menilai bahwa penguasa politik semakin jauh dari kepentingan rakyat dan gagal menjaga kepercayaan masyarakat. Situasi ini menjadi tanda adanya keretakan hubungan antara pemerintah, parlemen, dan rakyat. Oleh karena itu, demokrasi Indonesia berada dalam posisi rentan yang memerlukan perhatian serius. 

       Puncak ketegangan terjadi pada 28 Agustus 2025 ketika mahasiswa dan aparat mengalami bentrok di kawasan Senayan. Aksi ini tidak hanya menimbulkan kericuhan, tetapi juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa serta luka-luka di kalangan demonstran. Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, seorang ojek online, memperkuat kecaman publik terhadap cara aparat menangani aksi damai. Kekerasan yang seharusnya bisa dihindari justru memperlihatkan lemahnya penghormatan terhadap hak berpendapat. Peristiwa ini menandai kemunduran nyata dalam praktik demokrasi di tanah air.

  Selain korban jiwa, banyak mahasiswa, relawan medis, hingga satpam kampus menjadi korban kekerasan aparat. Penembakan gas air mata hingga masuk ke kawasan kampus seperti Unisba dan Unpas menimbulkan luka fisik dan trauma psikologis. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi kebebasan akademik justru berubah menjadi medan konflik. Hal ini memperlihatkan betapa lemahnya komitmen negara dalam melindungi ruang demokrasi. Serangan ke area pendidikan dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip kebebasan sipil.

   Kerugian dari demonstrasi juga meluas ke sektor ekonomi. UMKM dan pedagang online melaporkan penurunan penjualan hingga 60 persen akibat dari situasi yang tidak kondusif. Kerusuhan bahkan menyebabkan kerugian material hingga mencapai puluhan miliar rupiah. Pembakaran fasilitas publik dan kerusakan infrastruktur memperparah penderitaan masyarakat kecil yang seharusnya dilindungi. Dampak dari aksi ini tidak hanya menyangkut politik, tetapi juga dirasakan langsung dalam kehidupan ekonomi rakyat.

  Respons pemerintah terhadap situasi ini dinilai tidak memadai dan kurang empatik. Alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah dan DPR justru memberi pernyataan yang meremehkan protes rakyat. Legitimasi kenaikan tunjangan tanpa adanya reformasi substantif semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan. Padahal, masyarakat sipil telah menuntut adanya langkah konkret seperti reformasi kepolisian dan revisi anggaran negara. Ketidakpekaan ini hanya memperburuk krisis legitimasi demokrasi.

     Lebih jauh, muncul pula narasi politik yang memperkeruh keadaan. Aksi “Indonesia Gelap” misalnya, dituding pemerintah sebagai gerakan yang didanai koruptor. Pernyataan tersebut menimbulkan kontroversi dan dinilai sebagai upaya mengalihkan isu utama, yaitu keresahan rakyat atas kebijakan pemerintah. Narasi delegitimasi ini berpotensi menutup ruang dialog yang sehat dalam demokrasi. Akibatnya, konflik antara rakyat dan negara semakin sulit menemukan jalan tengah.

 Situasi ini juga mendapat perhatian internasional. PBB dan berbagai organisasi global menyoroti potensi pelanggaran HAM dalam aksi unjuk rasa di Indonesia. Tekanan internasional menunjukkan bahwa praktik demokrasi di Indonesia kini tidak hanya dipantau di dalam negeri, tetapi juga oleh komunitas global. Keprihatinan dunia memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia sedang diuji di hadapan mata internasional. Hal ini menjadi alarm keras bahwa keadilan dan kebebasan tidak boleh diabaikan.

 Rangkaian demonstrasi sepanjang 2025 membuktikan bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi krisis serius. Korban jiwa, kerugian ekonomi, serta pudarnya kepercayaan publik merupakan akibat dari kebijakan yang abai terhadap aspirasi rakyat. Negara perlu segera melakukan reformasi menyeluruh melalui dialog, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Jika tidak, luka sosial yang muncul akan semakin sulit disembuhkan dan legitimasi demokrasi akan semakin runtuh. Dengan demikian, hanya keadilan dan perlindungan hak rakyat yang mampu menyelamatkan masa depan demokrasi Indonesia.

Comments